Belajar tentang Risiko Modernitas dari TPS Krapyak Jaya, Krebet Senggrong

Pada Senin, 28 April 2025, tim NIHR Sosiologi Lingkungan melakukan orientasi lapangan ke Kecamatan Bululawang. Ini adalah orientasi kedua setelah yang pertama dilakukan di Kecamatan Pagak. Hari ini kami menelusuri tiga desa penelitian NIHR di Bululawang, yaitu Bakalan, Krebet, dan Krebet Senggrong.

Orientasi lapangan menjadi langkah awal yang penting untuk melakukan pemetaan sosial dan geografis wilayah yang akan menjadi subjek riset perilaku lingkungan. Selain ke tiga desa itu, kami juga menyusuri tempat-tempat pengelolaan sampah sementara (TPS) yang ada di wilayah studi.

Dalam kegiatan kali ini, tim Sosiologi Lingkungan, yang terdiri dari April, Yufta, Andhika, Benito dan saya, didampingi oleh Pak Budi. Rute kami hari ini adalah Bakalan–Krebet–Krebet Senggrong.

Salah satu titik kunjungan kami adalah TPS Krapyak Jaya di Desa Krebet Senggrong. Untuk mencapai TPS tersebut kami menyusuri jalan setapak yang di antara kebun tebu yang sudah mendekati masa panen (Gambar 1). Jalan itu adalah akses utama untuk masuk ke TPS Krapyak Jaya dari jalan desa. Di jalan desa itu terlihat rumah-rumah warga yang berjejer akan tetapi pada saat kami di sana hanya sedikit orang berlalu-lalang di jalan tersebut.

Secara geografis, TPS Krapyak Jaya berada di tengah kebun tebu. Saya menduga pemilihan lahan itu adalah agar kawasan ini tidak menjadi pusat keramaian. Terlihat tumpukan sampah dan mayoritas adalah sampah plastik (Gambar 2).

Pada bagian lain di TPS itu terlihat ada fasilitas pembakaran sampah. Saya tidak bisa menyebut fasilitas itu sebagai “insinerator” karena fasilitas itu tidak menggunakan mesin pembakar khusus bersuhu tinggi (Gambar 3). Pembakaran hanya menggunakan api biasa. Asap dari hasil pembakaran mengarah ke aliran air irigasi yang tepat berada di sebelahnya.

Saya melihat genangan sampah dan dedaunan yang berputar membentuk pusaran air di saluran irigasi itu. Ada dua kemungkinan sumbernya. Pertama, “kiriman” dari penduduk di hulu; dan, kedua, dari luberan sampah di TPS.

Dari pengamatan sekilas saya, sampah yang paling dominan adalah sampah plastik. Plastik adalah material yang seolah-olah telah menjadi bagian tak terlepaskan dari tubuh manusia. Kehadiran plastik, sebagai material dari hasil teknologi modern, telah membawa kita pada konsekuensi-konsekuensi baru yang belum diprediksi sebelumnya. Residu plastik kini dapat dianggap sebagai artefak budaya masyarakat modern.

Sebagaimana diungkapkan sosiolog Anthony Giddens (dalam Ritzer, 2011), modernitas mengurangi tingkat risiko secara keseluruhan dalam beberapa bidang dan cara hidup tertentu, namun pada saat bersamaan juga menghadirkan parameter risiko baru yang sebagian besar atau sepenuhnya belum dikenal pada era sebelumnya. Plastik sebagai solusi bagi kehidupan masyarakat modern justru menjadi risiko baru bagi manusia karena dia sulit terurai sehingga menambah beban lingkungan.

Risiko dalam manusia modern ini terkait dengan gagasan sosiolog Ulrich Beck tentang “risk society”. Menurutnya, industri dan teknologi yang diciptakan dari modernisasi telah memproduksi berbagai konsekuensi berbahaya. Globalisasi telah membuat risiko tersebut tidak lagi terbatas hanya pada satu tempat tertentu atau waktu tertentu, tapi mengglobal (Beck, dalam Ritzer, 2011), termasuk risiko dari penggunaan plastik.

Saya juga mengamati perbedaan pengelolaan sampah dari orientasi lapangan ini dengan tata kelola lingkungan di pusat-pusat kota, khususnya kawasan perumahan modern. Ini searah dengan yang disampaikan Beck tentang “ketimpangan distribusi risiko”. Seperti halnya kekayaan, Beck berpendapat, risiko mengikuti pola kelas namun secara terbalik: “kekayaan terakumulasi di atas, sementara risiko terkonsentrasi di bawah”. Mereka yang di atas dapat membeli keamanan dan terbebas dari risiko, sementara yang di bawah justru mendapat limpahan risiko (Beck, dalam Ritzer, 2011).

Orientasi lapangan ini telah membuka wawasan saya bahwa pengelolaan sampah yang diproduksi oleh manusia bukanlah hal yang sederhana. Ada alur proses pengelolaan yang panjang dan kompleks. Sebelumnya, saya berpikir bahwa hanya dengan membuang sampah pada tempatnya sudah cukup untuk menyelesaikan tanggung jawab saya sebagai konsumen. Namun, orientasi lapangan kali ini dan pengalaman menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang timbunan sampah di TPS menyadarkan saya bahwa sampah yang dibuang ternyata belum benar-benar hilang. Mereka hanya berpindah secara spasial ke tempat lain dan berpindah tangan ke pihak lain yang mengelolanya.

Singkat cerita, proses produksi dan konsumsi sampah tidak otomatis berhenti hanya dengan membuang sampah pada tempatnya saja. Ada berbagai konsekuensi lanjutan yang berimplikasi pada sistem pengelolaan sampah serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. (*)

Referensi:

Ritzer, G. (2011). Sociological theory (8th edition), McGraw-Hill.

Oleh: Fajar Alia Rizkianti     |     Editor: Anton Novenanto

Leave a Comment