Pada Senin yang cerah (28/4), kami berangkat menuju Kecamatan Bululawang untuk melakukan orientasi lapang. Meskipun itu adalah Senin, lalu lintas terasa tidak terlalu padat dan tidak ada hambatan yang berarti. Kami memang berangkat agak siang, sekitar pukul 11 siang, sehingga tidak bertemu dengan para penglaju pekerja dan sekolah.
Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, kami tiba di Kepanjen untuk menjemput Pak Budi yang menjadi penghubung kami selama ini dengan komunitas. Kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Bululawang.
Pemberhentian pertama kami adalah kantor Desa Bakalan, Bululawang untuk mengambil surat izin survei. Selang sekitar 10 menit, surat sudah di tangan kami. Kami pun bisa melanjutkan perjalanan.

Gambar 1. Kantor Desa Bakalan, Bululawang (©2025, Benito Ahadianto)
Kami mengitari Desa Bakalan untuk mengamati hal-hal kunci yang sekiranya perlu menjadi perhatian. Jalan yang kami lalui berlubang. Membuat mobil yang kami kendarai sedikit terguncang. Saya menduga itu terjadi karena banyak truk ataupun kendaraan besar lainnya yang sering melewati jalan itu.
Saya melihat banyak lahan tebu yang luas di wilayah desa tersebut. Saya berasumsi bahwa pekerjaan warga di wilayah ini adalah mayoritas petani tebu, baik itu pemilik lahan ataupun buruh tani. Menurut pak Budi, pabrik gula mengontrak lahan-lahan milik warga di desa sekitarnya untuk ditanami tebu dan hasilnya disalurkan ke pabrik. Warga terlibat dalam industri gula tidak hanya sebagai petani tetapi juga sampai pada pengolahan di pabrik sebagai buruh di pabrik gula.
Secara sederhana, hubungan antara pabrik gula dengan petani adalah hubungan ekonomi. Akan tetapi, keberadaan industri gula tersebut juga memiliki dampak kesehatan bagi warga sekitar. Pada saat musim panen, misalnya, beberapa petani yang memiliki hubungan dekat dengan pabrik mendapatkan bonus gula. Menurut Pak Budi, ada kecenderungan petani-petani yang punya relasi erat dengan pabrik itu menderita diabetes.
Selain mengamati kehidupan warga di ketiga desa, kami juga mengunjungi TPS Krapyak Jaya yang berlokasi di Desa Krebet Senggrong. TPS terletak di sisi Timur sebuah saluran irigasi. Airnya keruh dan tampak sampah turut mengalir di alirannya.
Menurut Pak Budi, sampah di TPS Krapyak Jaya diangkut ke TPA Talangagung, Kepanjen setiap dua kali dalam seminggu. Walaupun begitu, pada waktu kunjungan kami masih melihat tumpukan sampah yang menggunung di area TPS. Terdapat semacam tempat untuk membakar sampah yang sedang aktif membakar dan mengeluarkan asap putih.

Dari TPS Krapyak Jaya kami beranjak ke TPS3R Loka Bhakti di Kecamatan Pakisaji. TPS3R ini tampak lebih terurus apabila dibandingkan dengan TPS Krapyak Jaya. Lokasi TPS3R lebih luas dibandingkan TPS Krapyak Jaya. Masih ada lahan kosong di depan gerbang masuk untuk menjemur tembakau. Terlihat dari volume tumpukan sampah yang belum diolah tidak begitu banyak. Ada juga sampah yang sudah terpilah dan dikemas dalam karung-karung yang ditumpuk di sebuah bangunan kecil.
Kami pun menyudahi kegiatan hari itu. Dari TPS3R Loka Bhakti, kami mengantar Pak Budi pulang sebelum bergerak pulang ke Malang. (*)
Oleh: Benito Ahadianto | Editor: Ayu Aprilia Ningsih & Anton Novenanto