Implementasi Circle Conversation di Desa Krebet Senggrong

Air Pollution

“Tidak ada kekuatan untuk melakukan perubahan yang lebih besar daripada komunitas yang menemukan apa yang mereka pedulikan.” – Margaret J.Wheatley

Sepuluh orang warga – 6 perempuan dan 4 laki-laki – dari 3 dusun yang ada di Desa Krebet Senggrong, mengikuti circle conversation yang diadakan di gedung PKK yang berada di Jalan Dusun Krpayak Jaya No. 1 Desa Krebet Senggrong, Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, pada Kamis (11/07).

Circle conversation adalah proses terstruktur yang memungkinkan peserta berbagi cerita dan pengalaman melalui komunikasi tatap muka dengan cara duduk melingkar. Circle conversation dianggap sebagai alat untuk memfasilitasi pembicaraan, mendengarkan, dan mendukung kesetaraan suara sehingga semua suara dapat didengar, dihargai, dan dihormati.

Circle conversation yang dilokalkan dengan sebutan rembug warga itu yang digelar oleh Tim CEI (Community engagement and involvement) merupakan bagian dari penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Enviromental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC).

Kades Krebet Senggrong berpose dengan peserta circle conversation
Penyelenggaraan ini dibantu oleh para kader peserta photovoice (Lydia Mas’udah, Nadzirotun Khasanah, Yeni, Mariana, Nur Rohma, Sanik) sebagai organizing committee (OC) dalam implementasi rembug warga atau circle conversation. Mereka berbagi peran sendiri, ada yang menjadi master of ceremony (MC), notulis, dan lain-lain.

Tak hanya itu, terlihat pula salah seorang anggota Tim CEI Christina Arief T. Mumpuni, S.H., M.I.K. yang membantu notulensi dengan laptop. Selain itu, juga terdapat fasilitator NIHR yang membantu dalam mendokumentasikan kegiatan ini.

Kegiatan yang dimulai pukul 09.27 WIB dipandu langsung oleh Koordinator Tim CEI Haryani Saptaningtyas, S.P., M.Sc., Ph.D. Selain sebagai Koordinator Tim CEI, ia juga merupakan Direktur Yayasan Percik Salatiga (YPS), staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), dan penulis buku “This is our belief around here”: Purification in Islamic Thought and Pollution of Citarum River in West Java” (LIT Verlag Münster, 2021).

Perpaduan antara pengalamannya yang malang melintang di lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) memperlihatkan kepiawaiannya dalam memandu circle conversation dengan tema utama pada pengelolaan sampah dan kesehatan masyarakat.

Sambutan Kades dalam circle conversation
Sebelum circle conversation dimulai terlebih dahulu diisi dengan sambutan dari Kepala Desa (Kades) Krebet Senggrong Slamet Efendi, S.E. Dalam sambutannya, Kades Krebet Senggrong mengapresiasi kegiatan yang terkait masalah persampahan, dan harapannya nanti juga ada pendampingan dalam hal pengelolaan sampah.

Setelah sambutan dari Kades Krebet Senggrong, dilanjutkan dengan sambutan dari Koordinator Tim CEI yang diisi dengan perkenalan dan menjelaskan kegiatan circle conversation dalam kerangka penelitian NIHR. Setelah itu, langsung disambung dengan implementasi circle conversation.

Mula-mula, Haryani menjelaskan informed consent sebagai bentuk persetujuan atas kerelaan peserta mengikuti kegiatan circle conversation secara suka rela. Kemudian, ia pun menjelaskan tema pengelolaan sampah dalam circle conversation.

Kemudian mempersilakan peserta circle conversation untuk memperkenalkan diri dan bercerita tentang penanganan sampah yang dilakukan dalam kesehariannya. Waktunya dibatasi hingga 2 menit, tidak boleh lebih. Jadi, dalam circle conversation ini, semua perserta harus berbicara.

Peserta circle conversation dilihat dari pintu masuk gedung PKK Desa Krebet Senggrong
Dari cerita-cerita itu mengemuka bahwa penanganan sampah di Desa Krebet Senggrong dalam pengelolaannya terlihat beragam. Ada yang berlangganan untuk diambil petugas pengangkut sampah, ada yang dibuang di lahan belakang rumah terus dibakar, dan ada yang dibuang di lahan kosong dekat musholla.

Terkait pembakaran sampah, umumnya dilakukan mereka yang memiliki lahan luas dan rumah tidak berdempetan. Mereka juga sebagian ada yang mengetahui bahwa pembakaran sampah itu berpengaruh pada kesehatan, terutama masalah pernapasan.

Setelah mereka selesai berbicara masing-masing dulu terus mendengarkan yang lainnya, Haryani pun berusaha mencatat segala pengelolaan sampah dari perspektif mereka, dan kemudian pada kesempatan itu, ia juga memberikan wawasan dalam bahayanya pembakaran sampah.

Mengutip dari data yang dibacanya, Haryani berusaha menjelaskan bahwa asap dari pembakaran sampah mengandung hidrokarbon benzopirena. Gas tersebut 350 kali lebih berbahaya dari pada asap rokok.

Peserta circle conversation dari dalam
Kemudian pembakaran sampah plastik bisa membuat lapisan ozon menipis. Saat lapisan ozon menipis, suhu bumi akan semakin panas. Membakar sampah plastik sama saja menambah racun ke udara. Karena zat kimia beracun yang dibakar keluar sehingga bercampur dengan udara. Sampah plastik yang dibakar akan menghasilkan zat-zat berbahaya seperti dioksin. Zat tersebut bisa meningkatkan risiko munculnya kanker.

Memang sebuah dilemma. Mengutip dari Laporan Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup Indonesia, Haryani menyebutkan bahwa 53% masyarakat Indonesia masih membakar sampah dengan alasan praktis dan cepat bersih. Namun dibalik itu, membakar sampah dapat memberikan dampak berbahaya baik bagi kesehatan maupun lingkungan.

Oleh karena itu, circle conversation dapat berguna untuk menangkap perspektif dari warga masyarakat, dan perspektif tersebut terkadang bisa menjadi perspektif dalam memberikan solusi penanganannya, yang pada akhirnya melahirkan sebuah kepedulian.

Kata Margaret J. Wheatley, seorang penulis, guru, pembicara, dan konsultan manajemen Amerika yang bekerja untuk menciptakan organisasi dan komunitas yang layak huni manusia, “There is no power for change greater than a community discovering what it cares about” (Tidak ada kekuatan untuk melakukan perubahan yang lebih besar daripada komunitas yang menemukan apa yang mereka pedulikan). *** [110724]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo
Editor: Budiarto Eko Kusumo

Leave a Comment