“Ia yang mendaki gunung tertinggi akan menertawakan segala tragedi, baik yang nyata maupun yang dibayangkan.” — Friedrich Nietzsche
Selama dua hari berturut-turut, Tim NIHR (National Institute for Health and Care Research) Universitas Brawijaya (UB) – Fildzah Cindra Yunita, S.Kep., MPH, Meutia Fildzah Sharfira, SKM, MPH, dan saya – melakukan koordinasi intensif untuk persiapan pemasangan alat sensor kualitas udara di Desa Pagak, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.
Ada 13 titik yang direncanakan tersebar di empat dusun: Tempur, Banyuurip, Sumbernongko, dan Krajan. Medan yang menantang tidak menyurutkan semangat tim, malah menjadi kisah penuh warna yang menguji ketangguhan, dan kekompakan.

Hari pertama, Rabu (14/05), diawali dengan koordinasi di Dusun Tempur. Daerah ini memiliki kontur berbukit, dengan jalan yang naik-turun tajam. Ketika hujan turun, jalan menjadi licin dan rawan selip. Pengemudi harus ekstra hati-hati, terlebih ketika yang dibawa adalah mobil Honda Brio.
Bagian bawahnya kerap nggasrut bebatuan yang nongol di paving block yang sudah berliuk-liuk. Itupun Kamituwo Tempur Suwaji sudah memandunya dengan memilih jalan yang menurutnya tergolong bagus.
Dari Tempur, Tim NIHR UB melanjutkan ke Dusun Banyuurip untuk mengidentifikasi empat titik lainnya bersama Kamituwo Banyurip Bambang Yulianto. Jika Tempur sudah cukup menantang, maka medan Banyuurip memberikan definisi baru tentang “ngeri-ngeri sedap”. Mobil hanya bisa mengakses dua titik, sementara dua titik lainnya hanya bisa dijangkau dengan bantuan Kamituwo Banyuurip dan Suliono yang kebetulan rumah yang bertitik koordinat di pinggir Jalan Pagak-Kalipare.

Tanpa pemandu lokal dan boncengannya, menemukan titik-titik koordinat tersebut akan terasa sulit – karena lokasinya tersembunyi di antara kebun, rumah-rumah terpencil, dan jalanan sempit yang ada di tepian perbukitan kapur.
Hari kedua, Kamis (15/05), perjalanan berlanjut ke Dusun Sumbernongko dan Krajan. Sumbernongko bisa dibilang sebagai titik paling menantang dalam keseluruhan koordinasi. Letaknya cukup jauh dari Balai Desa Pagak, harus melintasi dua desa lain, yaitu Karangsari dan Sumberkerto. Jalan makadam yang menanjak dan licin saat hujan menambah tantangan.
Karena Kamituwo Sumbernongko berhalangan hadir, Sekretaris Desa (Sekdes) Pagak Naroji turun langsung memandu Tim NIHR UB, bahkan menyediakan dua motor untuk mobilitas. Orangnya kecil tapi tak mengira kalau ia cukup tangguh menaklukkan medan.Empat titik di Sumbernongko berhasil disurvei, tiga di antaranya berada di area perkebunan tebu yang luas. Akses ke sana nyaris mustahil tanpa kendaraan roda dua jenis trail atau mobil double gardan yang tidak terlalu besar.

Dua titik terakhir berada di Dusun Krajan. Titik pertama relatif mudah diakses karena berada di tepi jalan raya Pagak–Donomulyo, persis di utara Kantor UPT Bapenda. Namun titik kedua justru tersembunyi di sudut desa yang berbatasan dengan Desa Gampingan.
Untuk mencapainya, Tim NIHR UB harus melintasi Dusun Bumirejo, Desa Gampingan, menambah satu lagi desa yang masuk dalam lintasan pencarian titik koordinat. Perjalanan menuju ke sana relatif mudah namun jalanan sedikit sempit, dan itu pun karena dipandu oleh staf Desa Pagak Andrie Bandito.
Koordinasi pemasangan alat sensor udara dua hari di Desa Pagak ini, bukan hanya soal teknis belaka tapi juga mengandung unsur petualangan. Ia menjadi catatan kecil tentang dedikasi dan kerja lintas sektor – antara Tim NIHR UB, aparat desa, dan masyarakat. Di tengah jalan menukik atau tanjakan yang menguras tenaga, bahkan tawa pun sempat mewarnai perjalanan. “Kalau jalan menukik, yang dibonceng mendesak pembonceng. Kalau menanjak, yang dibonceng mlorot hampir terlepas kalau tidak pegangan erat,” kata salah satu anggota Tim NIHR UB sambil tertawa.

Kisah ini mengingatkan pada kata-kata bijak dari Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam Also sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen atau Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None: “He who climbs upon the highest mountains laughs at all tragedies, real or imaginary” (Ia yang mendaki gunung tertinggi akan menertawakan segala tragedi, baik yang nyata maupun yang dibayangkan).
Di balik rintangan medan dan keterbatasan akses, semangat gotong royong dan keteguhan dalam menjangkau pelosok Pagak menjadi fondasi penting dari program ini. Sensor udara AirGradient mungkin kecil, tapi upaya untuk menempatkannya dengan tepat, justru besar. *** [160525]
Oleh: Budiarto Eko Kusumo | Editor: Budiarto Eko Kusumo