Memaknai Launching UB CHC

Memaknai Launching UB CHC
Peserta launching UB CHC di Auditorium Lantai 10 GPB FKUB pada Kamis (04/12)

The great revolution of the future will be Nature’s revolt against man.” — Holbrook Jackson

Beruntung rasanya dapat menghadiri peluncuran Universitas Brawijaya Climate and Health Centre (UB CHC) yang digelar pada Kamis (04/12) di Auditorium Lantai 10 Gedung Pendidikan Bersama (GPB) Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB).

Ruang itu tidak hanya dipenuhi para akademisi maupun peneliti lintas bidang, tetapi juga oleh kesadaran baru: bahwa kita tengah berada pada babak sejarah ketika perubahan iklim bukan lagi sekedar wacana global, melainkan kenyataan yang perlahan mengubah wajah kesehatan masyarakat Indonesia.

Dalam sambutannya, Dekan FKUB Prof. Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med., Sp.A(K) menegaskan bahwa perubahan iklim sedang menggeser lanskap kesehatan secara signifikan. Ia berbicara tentang peningkatan suhu, penurunan kualitas udara, semakin seringnya cuaca ekstrem, perubahan pola penyakit, serta tantangan kesehatan mental yang kian menekan generasi muda. Seluruh fenomena itu memperlihatkan bahwa isu iklim tidak pernah berdiri sendiri – ia merembes ke dalam tubuh sosial kita, memengaruhi cara kita hidup, bekerja, tumbuh, dan bertahan.

“Perubahan iklim lebih dari sekadar masalah lingkungan; ia adalah masalah kesehatan masyarakat yang mendesak,” ujarnya. Di titik inilah UB melihat urgensi untuk bergerak. Pusat Iklim dan Kesehatan UB dibentuk sebagai langkah proaktif menghadapi tantangan multifaset tersebut.

Pusat (centre) ini dirancang berfondasi interdisipliner – menghubungkan para ahli dari kedokteran, kesehatan masyarakat, ilmu lingkungan, pertanian, ilmu komputer, kebijakan, hingga ekonomi. Sebuah ekosistem pengetahuan yang menyatu demi menghasilkan bukti ilmiah yang kuat dan berkontribusi nyata bagi kebijakan nasional serta ketahanan masyarakat.

Melalui UB CHC, UB menempatkan diri bukan hanya sebagai institusi pendidikan, melainkan sebagai ruang inovasi dan advokasi publik. “Universitas Brawijaya berkomitmen memajukan penelitian berkualitas tinggi, mendorong inovasi, memperkuat inisiatif pemerintah, dan mempersiapkan generasi pemimpin masa depan di bidang iklim dan kesehatan,” tegas Dekan FKUB.

Kehadiran pusat ini terasa sebagai momentum strategis – sebuah pengingat bahwa krisis iklim bukan sekadar urusan para pengambil kebijakan, tetapi pengalaman hidup sehari-hari yang menyentuh rakyat banyak.

Dalam konteks global, ilmuwan telah lama mengingatkan bahwa krisis ekologis menuntut perubahan besar dalam cara hidup manusia. Pertanyaannya: bagaimana mengubah arah? Mengapa perubahan terasa begitu mengkhawatirkan? Jawaban sementara yang muncul dari berbagai pemikiran kontemporer ialah bahwa yang kita hadapi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis manusiawi – krisis cara memandang dunia, diri sendiri, dan relasi kita dengan alam.

Dalam Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia (2025), para pemikir mulai menoleh pada cabang ilmu yang masih muda: humaniora lingkungan hidup (environmental humanities). Mereka menyebut bahwa “perubahan iklim” sebenarnya sudah berubah menjadi “kerusakan iklim”, namun Indonesia belum memiliki perdebatan publik yang matang mengenai penyebab maupun konsekuensinya. Iklim kerap dianggap sebagai urusan elit kebijakan, bukan sesuatu yang dimiliki oleh rakyat.

Kegelisahan serupa pernah diungkapkan dalam karya klasik The Limits to Growth (1972) yang meramalkan bahwa pertumbuhan populasi, tekanan lingkungan, dan dinamika ekonomi global akan berpadu menuju titik krisis.

Salah satu sorotan penting adalah persoalan sampah. Filsuf UGM, Rangga Kala Mahaswa, melalui gagasan hauntologi sampah, menggambarkan bagaimana “ke-mahabesaran” kolektivitas sampah global menjadi bayangan yang menghantui peradaban manusia sekaligus mempercepat perubahan iklim.

Di Dunia Utara, sampah ditarik menjauh – dibuang, disembunyikan, dibuat tidak terlihat. Tetapi di Dunia Selatan, sampah justru selalu hadir, menumpuk, menjadi bagian dari ritme pembangunan sehari-hari. Sampah adalah objek yang selalu dekat namun sering tak diakui, sebuah eksistensi yang akrab tetapi asing, hadir tetapi seolah tidak dianggap ada. Kompleksitasnya merambat ke wilayah kesehatan masyarakat, sosial, budaya, ekonomi, hingga politik ekologi baru.

Seperti yang digambarkan Slavoj Žižek dalam dokumenter Examined Life (2008), jejak peradaban manusia tidak pernah lepas dari limbah yang ditinggalkannya sendiri. Kita sering memulai sesuatu dari yang artifisial, bukan dari yang alamiah. Romantisasi ekologis yang naif justru menghalangi kita melihat ketidakseimbangan fundamental antara manusia dan dunianya – sebuah ketidakseimbangan yang kini menuntut balasan.

Di tengah pemikiran itulah, kehadiran UB CHC terasa penting. Ia bukan hanya institusi riset, tetapi simbol kesadaran baru: bahwa masa depan kesehatan manusia tidak dapat dipisahkan dari kondisi bumi yang kita hidupi. UB CHC mengajak kita membaca ulang relasi manusia-alam secara lebih jujur, kritis, dan penuh tanggung jawab.

Holbrook Jackson (1874-1948), seorang jurnalis, penulis, dan penerbit Inggris serta dikenal sebagai salah satu bibliofil terkemuka pada masanya, pernah menulis:

“Revolusi besar di masa yang akan datang adalah revolusi alam melawan manusia.”

Melalui launching UB CHC, kita diingatkan bahwa revolusi itu sedang berlangsung – diam-diam, melalui panas yang meningkat, udara yang menurun kualitasnya, dan tubuh-tubuh manusia yang mulai kewalahan menghadapi perubahan.

Tugas kita adalah memastikan bahwa revolusi tersebut tidak berakhir dengan kehancuran, melainkan dengan kesadaran baru yang mendorong kita untuk hidup lebih selaras, lebih sehat, dan lebih manusiawi dalam merawat bumi yang sama-sama kita tempati. *** [051225]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo     |     Editor: Budiarto Eko Kusumo

Leave a Comment