“Nah, jika bercerita itu penting, maka kemampuan bercerita Anda atau kemampuan Anda untuk menuangkannya ke dalam kata-kata atau menggunakan apa yang telah disampaikan orang lain ke dalam kata-kata secara efektif, juga penting.” – Howard Earl Gardner, psikolog Amerika
Kutipan di atas menekankan pentingnya bercerita dalam komunikasi. Kutipan ini menunjukkan bahwa bercerita itu sendiri tidak hanya penting, tetapi juga kemampuan untuk mengartikulasikan atau menyampaikan cerita secara efektif sangat penting.
Baik Anda membuat narasi sendiri atau menafsirkan narasi orang lain, keterampilan untuk mengekspresikan cerita ini dengan jelas dan berdampak akan meningkatkan makna dan resonansinya. Intinya, kutipan dari Gardner tersebut menyoroti keterkaitan antara bercerita dan keterampilan komunikasi dalam membuat ide lebih mudah dipahami dan menarik.
Hari Sabtu (12/10), 10 orang kader kesehatan –Cicik Krisdianti, Della Apryanagustin, Dwi Mayasari, Dyah Anggun Sasmita, Istiawati, Nuryl Nindya, Priayatin, Purwiantiwi, Sri Wahyuni, Viska Pratiska – yang menjadi partisipan photovoice tahap 3 atau photovoice 3 ini mengikuti workshop penulisan storytelling yang diadakan oleh Tim Penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC) Theme 3: People Empowerment and Community, atau yang akrab disebut Tim CEI (Community Engagement and Involvement).
Bertempat di Ponkesdes Pagak yang beralamatkan di Dusun Tempur RT 06 RW 12 Desa Pagak, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, partisipan duduk lesehan bersama Tim CEI Christina Arief T. Mumpuni, fasilitator NIHR, dan mahasiswa S3 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) serta juga Ketua TP PKK Desa Pagak dan perawat Desa Pagak. Usai sambutan dari Ketua TP PKK Juwariyah dan perawat Sri Hidayati, S.Kep.Ners., acara langsung diisi dengan pelatihan penulisan storytelling yang diberikan oleh fasilitator NIHR. Workshop itu mengenalkan apa itu storytelling, bagaimana sebuah cerita itu terbentuk dengan 5W dan SW, perbedaan berita dan storytelling, dan penulisan storytelling.
Dalam bercerita, menurut fasilitator NIHR, yang sampai bukan sekadar data dan informasi. Dalam bercerita ada ikatan antara pencerita dan pembaca (pendengar atau pemirsa). Iktan emosi ini muncul karena kesamaan gelombang otak. Saat kita bercerita, pendengar akan mengantisipasi dengan referensi di otaknya.
Lalu, mengapa orang tertarik pada cerita? Cerita dapat membuat kita melihat bagaimana orang lain berpikir dan merasakan. Dengan kata lain, mereka memungkinkan kita berempati dengan orang-orang di sekitar kita. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa semakin menarik sebuah cerita, semakin besar pula empati orang dalam kehidupan nyata.
Cerita memungkinkan berbagi informasi dengan cara yang terkesan. Dengan menceritakan sebuah kisah dan bukan sekadar menceritakan fakta-fakta kering, kita mengingat detailnya dengan lebih jelas.
Fokus partisipan dalam mengikuti storytelling ini pada wawasan dan kekuatan bercerita atau mendongeng. Menurut Karen Carroll dalam Insights and Power of Storytelling (2023, Nursing Science Quarterly 36(3): 237-239), mendongeng (storytelling) mencerminkan narasi unik yang mengungkap makna sedemikian rupa sehingga wawasan baru muncul bagi pendongeng, pendengar, dan pengamat cerita. Pentingnya mendongeng diilustrasikan dengan cerita yang menyoroti makna, prioritas nilai, dan pilihan.
Dengan demikian, penghormatan terhadap mendongeng dalam kerangka photovoice ini melahirkan insight, khususnya mengenai pengelolaan sampah dan kesehatan masyarakat dalam suatu daerah. Selain menjadi metode komunikasi, bercerita memiliki kemampuan unik untuk memikat hati, menyampaikan pesan, dan menumbuhkan rasa memiliki dalam komunitas.
Baca Juga : Mengawali Photovoice di Desa Pagak: ‘Sebuah gambar bernilai seribu kata’
Photovoice yang dibangun dari kisah pendek foto atau penceritaan digital, tidak hanya menjadi pendekatan penelitian partisipatif berbasis masyarakat terhadap penilaian kebutuhan masyarakat, tetapi juga untuk memperoleh keadilan sosial dan perubahan.
Usai mendapatkan pembekalan perihal storytelling beserta penulisannya, partisipan photovoice yang masih tetap semangat dan konsisten itu kemudian diminta oleh pemandu photovoice 3 Christina Arief untuk menampilkan tulisan ceritanya yang telah dibagikan di dalam group whatsapp (WA), satu per satu secara bergantian.
Mereka langsung praktek menceritakan, dan sekaligus mendapatkan tanggapan dari partisipan yang lainnya maupun pemateri. Tujuannya, agar cerita yang ditampilkan itu, memenuhi sebuah syarat dalam storytelling dan sekaligus menjadi menarik.
Setelah selesai semua presentasi tulisan ceritanya, partisipan photovoice 3 diminta oleh Christina untuk segera melakukan revisi (menambahi atau mengurangi) dari hasil diskusi dengan partisipan yang lain, pemateri maupun mereka yang hadir dalam photovoice 3 ini.
Pada photovoice 4 nanti sudah akan yang terpilih 1 dari 10 tulisan partisipan yang telah dibuat dan dipresentasikan oleh partisipan. Kemudian setelah itu, partisipan akan mengikuti agenda berikutnya berupa refleksi.
Pertemuan photovoice 3 yang dimulai pada pukul 13.22 WIB ini, selesai pada pukul 15.52 WIB. Kemudian kepada semua yang hadir diminta oleh panitia photovoice yang berasal dari partisipan untuk mencicipi hidangan makan yang telah disediakan di ruangan samping.
Menunya ada nasi putih, nasi jagung, sop, urap, balado pindang, perkedel, tempe goreng, kerupuk, sambal terasi yang pedas, dan lain-lain. Mereka ada yang menikmati hidangan di dalam ruangan, dan ada pula yang menyantapnya di selasar bangunan Ponkesdes Pagak yang udaranya kala itu berembus sepoi-sepoi. Seakan-akan menjadi penawar dari teriknya mentari yang cukup menyengat. *** [141024]
Oleh: Budiarto Eko Kusumo | Editor: Budiarto Eko Kusumo
1 thought on “Storytelling Dalam Photovoice 3 Desa Pagak”