Membaca Desa Lebih Dalam: Observasi Sosial-Budaya dan Membangun Kepercayaan di EA NIHR

Di bawah bayang-bayang terik mentari, tiga sepeda motor berkeliling ke enumeration area (EA) yang menjadi penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC) – Sumberejo, Pagak, dan Tlogorejo – di Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.
Ketiga sepeda motor tersebut terdiri dari dua sepeda motor dikendarai oleh Tim Sosiologi Universitas Brawijaya (UB) yang terdiri dari Andhika Krisnaloka, S.Sos., Ayu Aprilia Ningsih, S.Sos., Benito Ahadiono, dan Fajar Alia Rizkianti. Mereka berboncengan. Sementara, satu lagi motor dikendarai oleh Fasilitator NIHR (National Institute for Health and Care Research) Universitas UB.
Setelah berulang kali turun ke lapangan, Tim Sosiologi UB menyadari satu hal penting: peta tidak pernah cukup. Sejak 2024, observasi EA di tiga desa di Kecamatan Pagak telah dilakukan berkali-kali. Namun, pendekatan yang digunakan selama ini lebih banyak berkutat pada dimensi kewilayahan – letak rumah, batas dusun, jalur akses.
Meminjam pendekatan isitlah dari James C. Scott dalam Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (1998), hal itu mengandalkan logika simplifikasi negara: melihat masyarakat hanya sebatas wilayah administratif dan statistik agregat.
Baru pada observasi terakhir, Jumat (23/05), pendekatan itu mulai bergeser: dari spasial ke sosial, dari wilayah ke relasi, dari lokasi ke makna. Tim Sosiologi UB menggeser fokus – dari penataan ruang ke penataan relasi – upaya menyentuh denyut sosial dan keberagaman budaya masyarakat desa.
Diawali dengan melintasi Desa Sumberejo, Tim Sosiologi UB yang tergabung dalam Tim NIHR UB tersebut membelah Gunung Geger untuk menuju ke rumah salah seorang perangkat desa di Desa Pagak.

Membaca Desa Lebih Dalam: Observasi Sosial-Budaya dan Membangun Kepercayaan di EA NIHR
Tim Sosiologi UB bersilaturahmi dengan perangkat Desa Pagak dan berdiskusi


Namun karena perangkat desa belum tiba dari Kota Malang untuk kepentingan sesuatu hal, perjalanan dilanjutkan ke Desa Tlogorejo. Di desa inilah, dalam suasana panas sinar mentari, ketiga motor yang dikendarai berhenti sesaat di Dusun Dadapan untuk mampir di warung es degan yang tidak jauh dari Kantor Desa Tlogorejo menuju ke Dermaga Dadapan.
Sambil menanti pesanan es degannya, Tim Sosiologi UB berdiskusi dengan Fasilitator NIHR. Mereka mulai memahami dan mencatat lebih dari sekadar kondisi geografis, mereka membaca langskap sosial.
Terlebih ketika mereka dipandu Fasilitator NIHR untuk melihat Dusun Druju, Desa Tlogorejo yang bernuansa Bali. Aristektur rumah maupun pura yang ada di dusun tersebut seakan-akan kita berada di Pulau Dewata.
Di sini Tim Sosiologi UB mulai mengamati keberagaman penduduk, pola interaksi, dan batas-batas desa yang bukan sekadar ditentukan oleh garis di peta, melainkan juga oleh ingatan kolektif, sejarah migrasi, dan hubungan sosial yang mengikat.
Begitu halnya, setelah Tim Sosiologi UB berkesempatan berdiskusi dengan salah seorang perangkat desa di Pagak, Andrie Bandito. Diketahui bahwa di Desa Pagak, hampir 60% merupakan keturunan Madura, dan air sulit untuk dikonsumsi karena mengandung kapur sehingga umumnya masyarakat akan membeli untuk kebutuhan konsumsi tubuh.
Pendekatan ini mencerminkan semangat “thick description” ala Clifford Geertz (1973), di mana pengamatan lapangan tak berhenti pada apa yang tampak, melainkan mengupas makna simbolik di balik tindakan sosial. Setiap percakapan dengan perangkat desa, setiap gesture warga yang menyapa, setiap jeda di warung pinggir jalan – menjadi bagian dari teks budaya yang tengah dibaca oleh Tim Sosiologi UB.

Tim Sosiologi UN dan Fasilitator NIHR UB saat berada di tugu perbatasan antara Desa Pagak dan Desa Tlogorejo


Memahami konteks sosial-budaya seperti yang digambarkan oleh Scott dan Geertz, diyakini bahwa setiap komunitas memiliki logika sosial yang unik. Sehingga, observasi kali ini membantu memahami norma dan nilai setempat, struktur kekuasaan informal, dan kebiasaan sehari-hari.
Dari situ, peneliti nantinya bisa membangun kepercayaan. Sosiolog Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956) melalui Teori Dramaturginya, mengingatkan bahwa interaksi dalam penelitian adalah “performance” di mana responden mungkin tidak sepenuhnya terbuka.
Sehingga, dalam observasi awal ini memungkinkan Tim Sosiologi UB membangun hubungan dengan tokoh kunci yang bisa memfasilitasi akses, dan menyesuaikan bahasa serta pendekatan agar tidak dianggap sebagai “orang asing yang menginterogasi.” Di titik inilah kepercayaan mulai dibangun, bukan melalui kuesioner, melainkan dengan mendengar, hadir, dan menunjukkan ketulusan.
Dari sini, kita bisa mengetahui pentingnya observasi di EA sebelum melakukan main survey sangat relevan, terutama dalam penelitian kuantitatif maupun kualitatif berbasis lapangan. Observasi awal di EA bukan sekadar mapping fisik, tetapi juga mapping sosial, untuk memastikan data yang dikumpulkan valid dan reliabel. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip sosiologi interpretatif yang menekankan konteks sebagai kunci memahami perilaku manusia.
Observasi sosial-budaya dan membangun kepercayaan hari itu, menjadi tonggak penting: dari sekadar melihat desa sebagai objek kebijakan, menjadi menyelami desa sebagai ruang hidup yang kompleks.
Dengan pendekatan etnografis yang lebih dalam, Tim Sosiologi UB berharap dapat menghindari jebakan “vision simplification” dan mulai memahami desa dari cara pandang masyarakatnya sendiri – dari bawah, bukan dari atas. *** [240525]

Oleh: Budiarto Eko Kusumo     |     Editor: Budiarto Eko Kusumo

Leave a Comment