“The first step toward change is awareness. The second step is acceptance.” — Nathaniel Branden
Langit Desa Sumberejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, hari itu, Rabu (21/05), diselimuti mendung tipis. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian utama. Tim NIHR (National Institute for Health and Care Research) Universitas Brawijaya (UB) kembali menyusuri jalanan desa untuk satu misi penting: memperpanjang dan merawat pemasangan sensor udara AirGradient Model O-1PST di 13 titik koordinat.
Sensor ini bukan hanya sekadar alat. Ia adalah penjaga sunyi kualitas udara, memberi tahu warga kapan udara bersih, dan kapan perlu waspada. Karena itulah, perpanjangan masa pakai dan perawatan sensor menjadi bagian penting dari program ini.
Dari ke-13 titik itu, tiga di antaranya mengalami kendala teknis. Di Kantor Desa Sumberejo serta salah satu rumah warga yang terletak di perbatasan barat daya dengan Desa Gampingan, sambungan Wi-Fi lumpuh usai sambaran petir menghantam perangkat. Satu titik lainnya, di Dusun Bekur RT 49 RW 08, mengalami gangguan daya listrik. Colokan terminal alat sensor harus diganti karena arus yang tidak stabil mengganggu performa perangkat.

Teknisi Nafas Indonesia M. Syaiful Umar, segera melakukan troubleshooting dan penggantian password bagi Wi-Fi dan colokan terminal. Setelah memastikan alat kembali berfungsi, ia bersama Tim NIHR UB yang bertugas mendampingi pemasangan sensor udara, melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Bululawang untuk menyelesaikan instalasi di tiga desa lainnya, yaitu Bakalan, Krebet Senggrong, dan Krebet.
Sementara itu, Tim NIHR UB lainnya – Serius Miliyani Dwi Putri, SKM, M.Ked.Trop., Benito Ahadiono, dan saya – masih berputar di lingkungan Desa Sumberejo. Menyapa warga satu per satu, menyesuaikan waktu dengan keberadaan mereka yang, meskipun sudah janjian via WhatsApp sehari sebelumnya, tak selalu bisa ditemui dengan mudah.
Rute berkeliling di 13 titik koordinat yang ada di Desa Sumberejo, diawali dengan Bandarangin RT 17 RW 05, RT 20 RW 05, dan Bekur RT 49 RW 08. Di Dusun Bandarangin RT 17 RW 05, kami sempat berjumpa dengan pemilik rumah lain yang sedang berada di Pendopo Balai Desa, memungkinkan penyelesaian langsung di sana.

Di tempat itu pula, empat warga lainnya mengalami perpanjangan sensor: dari Bandarangin RT 12 RW 03, RT 20 RW 05, hingga ke Bendo RT 26 RW 07. Kebetulan, Balai Desa Sumberejo hari itu sedang ramai karena ada pertemuan ibu-ibu PKK yang dilanjutkan dengan penanaman tanaman obat keluarga (TOGA) di lahan samping kantor desa.
Perjalanan berlanjut ke Bendo RT 54 RW 06, Bekur RT 37 RW 10, dan Bekur RT 56 RW 06. Saat di depan rumah warga Dusun Bekur RT 37 RW 10, kami disambut oleh asap yang menari gemulai di udara. Pemilik rumah sedang membakar sampah di dekat kebun tebu. Salah seorang anggota Tim NIHR UB dengan sigap mengabadikan pemandangan itu, asap yang berputar-putar seakan ikut menari bersama angin siang.
Tak berhenti di situ, Tim NIHR UB lanjut menyusuri Bandarangin RT 07 RW 01 dan Kidul Kali RT 02 RW 01. Dalam perjalanan pulang menuju Kota Malang, dua titik terakhir pun diselesaikan di Bekur RT 43 RW 08 dan Bekur RT 33 RW 08.

Pekerjaan hari itu yang selesai bakda Ashar, bukan sekadar sebagai bentuk tanggung jawab teknis. Lebih dari itu, ini adalah bagian dari kesadaran kolektif: bahwa menjaga udara berarti menjaga masa depan.
“The first step toward change is awareness. The second step is acceptance,” ujar Nathaniel Branden (1930 – 2014), seorang psikoterapis dan penulis berdarah Kanada-Amerika yang dikenal karena karyanya dalam psikologi harga diri. “Langkah pertama menuju perubahan adalah kesadaran. Langkah kedua adalah penerimaan.”
Dengan sensor-sensor yang terus menyala, Desa Sumberejo kini kembali memiliki penjaga tak terlihat – alat-alat kecil yang memberi tahu banyak tentang kesehatan udara yang kita hirup. Di balik alat-alat itu, ada langkah-langkah kecil namun penuh makna, dijalani oleh Tim yang tak pernah lelah berkeliling, menyapa, dan menyambung harapan. *** [210525]
Oleh: Budiarto Eko Kusumo | Editor: Budiarto Eko Kusumo