Usai santap siang pada rangkaian Third Annual Symposium NIHR-GHRC NCDs & EC di India pada hari kedua (10/11), para peserta diajak sejenak meninggalkan ruang-ruang diskusi ilmiah untuk menyusuri denyut kehidupan Kota Hyderabad.
Hyderabad City Tour (HCT) ini diselenggarakan oleh panitia simposium dari The George Institute for Global Health (TGI) India, sebagai upaya memperkenalkan sisi historis dan budaya kota tempat simposium berlangsung.
Tepat pukul 14.53 IST, Bus Sagar menjemput rombongan di depan pintu gerbang The Golkonda Resorts & Spa, hotel tempat para peserta menginap. Perlahan bus bergerak meninggalkan area resort, menyatu dengan kepadatan lalu lintas Hyderabad.

Jalanan cukup padat dan macet, sebuah pemandangan yang terasa akrab bagi siapa pun yang pernah merasakan lalu lintas Jakarta. Klakson kendaraan terdengar bersahut-sahutan; bajaj, bus umum, mobil, hingga sepeda motor pribadi seakan berkomunikasi lewat bunyi klakson yang nyaris tak pernah hening.
Hyderabad memang kota besar yang sarat sejarah. Bangunan-bangunan menjulang menghiasi jalan-jalan utama, sementara arus kendaraan terus mengalir tanpa jeda. Sekitar 45 menit kemudian, rombongan tiba di kawasan Charminar, ikon paling terkenal kota ini.
Bus berhenti di sebuah pertigaan, sekitar 300 meter dari Charminar, karena kawasan sekitar menara disterilkan dari kendaraan bermotor. Rombongan pun berjalan kaki mengikuti arahan panitia. Suasana langsung berubah menjadi lautan manusia dan aktivitas ekonomi rakyat.

Deretan UMKM lokal memenuhi sisi jalan – menjual busana tradisional India (sar)i, manik-manik, perhiasan, hingga aneka makanan khas – menghadirkan suasana yang mengingatkan pada kawasan sekitar Masjid Sunan Ampel di Surabaya.
Charminar sendiri berdiri megah dengan empat menara, sesuai namanya: Char berarti empat dan Minar berarti menara. Panitia membelikan tiket masuk bagi peserta, dengan harga 300 rupee untuk turis mancanegara, sekaligus menyediakan pemandu wisata lokal.
Sang pemandu bercerita, tangga menuju bagian atas Charminar terdiri dari 149 undakan, dengan lorong yang sempit. Mendakinya cukup menguras napas, namun rasa lelah terbayar oleh pengalaman berdiri di bangunan bersejarah yang konon dibangun oleh sultan yang berkuasa di Hyderabad. Sementara jam besar yang terpasang di Charminar merupakan hadiah dari Prancis pada masa lampau.

Turun dari Charminar, rombongan kembali menyatu dengan keramaian kawasan tersebut. Panitia kemudian mengajak peserta mencicipi chai tea dan roti banmaskin di Nimrah Café & Bakery yang legendaris.
Hanya tersedia enam meja tinggi tanpa kursi; pembeli menikmati minuman dan roti sambil berdiri menikamti suasana Charminar. Menariknya, seluruh kawasan Charminar bebas rokok. Larangan merokok ditegakkan dengan denda 1.200 rupee, sehingga meskipun kawasan ini padat dan berjubel, polusi asap rokok nyaris tidak terasa.
Usai menikmati chai, rombongan berjalan-jalan santai. Saya bersama Dr. Ismiarta Aknuranda, Dr. Ian Hamilton (Imperial College London), dan Alexandra Olid Stepanhuk (Imperial College London) menyempatkan diri mengunjungi Masjid Mekkah, yang terletak beberapa meter di arah barat daya Charminar.

Alexandra mengenakan hijab sesuai aturan yang tertera di pintu masuk masjid. Beberapa menit berkeliling, kumandang azan maghrib terdengar. Saya dan Dr. Ismiarta pun mengikuti salat Maghrib berjamaah, menutup kunjungan dengan ketenangan spiritual di tengah hiruk pikuk kota.
Selepas maghrib, panitia kembali menjemput rombongan untuk melanjutkan perjalanan menuju patung Dr. B.R. Ambedkar dan Assembly Secretariat di Bacupally, kawasan dengan arsitektur khas yang megah dan area yang luas. Malam kian turun, namun semangat kebersamaan justru semakin terasa.
Puncak hari itu ditutup dengan makan malam bersama yang disediakan oleh Dr. Devarsetty Praveen (Direktur TGI India). Rombongan diajak ke restoran terkenal dengan nasi biryaninya, Pista House Bakery – Restaurant. Kami makan bersama di lantai tiga, berbagi cerita, tawa, dan kesan pertama tentang Hyderabad. City tour ini bukan sekadar perjalanan wisata, melainkan momen awal keakraban antarpeneliti lintas negara.

Seperti kata ibnu Battuta (1304-1369), seorang cendekiawan dan penjelajah Maroko, yang dianggap sebagai salah satu penjelajah terhebat dalam Sejarah, yang melakukan perjalanan sekitar 75.000 mil melintasi dunia Islam abad pertengahan dan sekitarnya (Afrika, Asia, Eropa) selama lebih dari dua dekade, mencatat pengalamannya dalam catatan perjalanan terkenal berjudul Rihla (Perjalanan), sebuah catatan penting tentang budaya, perdagangan, dan kehidupan Islam abad ke-14:
“Bepergian – itu membuatmu terdiam, lalu mengubahmu menjadi seorang pendongeng.”
Hyderabad City Tour hari itu membungkam kami sejenak oleh kekayaan sejarah dan keramaian kota, sebelum akhirnya memberi cerita—cerita tentang kota, kebersamaan, dan perjalanan yang akan terus dikenang. *** [131225
Oleh: Budiarto Eko Kusumo | Editor: Budiarto Eko Kusumo