Memasuki hari kedua pelaksanaan piloting kuesioner COM-B, lima personil Tim Sosiologi Universitas Brawijaya (UB) – Dhika, April, Yufta, Ben, Alia – kembali menyusuri gang-gang kecil di Kelurahan Kepanjen bersama lima kader SMARThealth – Agustin Shintowati, Kristin Mariana, Sumarmi Warto Dewo, Rusmini, dan Ninik Kartini .
Setelah sehari sebelumnya berhasil menjangkau 16 responden dari target total 30 orang, hari ini mereka menyelesaikan 14 wawancara tersisa, menandai rampungnya tahap uji coba instrumen di wilayah ini.
Kegiatan piloting ini juga didampingi langsung oleh Tim CEI serta Fasilitator dari NIHR (National Institute for Health and Care Research) UB. Tim menyebar ke lima RW yang tersebar di Kelurahan Kepanjen, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Sejak pagi, mereka melanjutkan pendekatan dari rumah ke rumah, membawa bukan hanya kuesioner, tetapi juga semangat membangun hubungan sosial yang tulus dan penuh empati.

Karena sejatinya, “kuesioner adalah interaksi sosial, bukan sekadar alat data.” Pandangan ini selaras dengan pemikiran Erving Goffman (1922–1982), sosiolog dan psikolog sosial asal Kanada yang melihat setiap tindakan sosial sebagai sebuah panggung – di mana cara bertanya akan membentuk cara seseorang merespons. Bagi Tim Sosiologi UB, kuesioner bukan sekadar lembaran pertanyaan, melainkan ruang percakapan yang hidup.
Fasilitator NIHR UB yang turut mendampingi turun lapangan ini mencermati bagaimana tim menerapkan prinsip-prinsip wawancara yang baik: membangun kedekatan dengan responden, menjaga kenetralan, menjelaskan tujuan survei, serta menggunakan probing – sebuah teknik menggali informasi lebih dalam ketika jawaban awal dirasa belum cukup menjelaskan.

Menurut Ranganathan dan Caduff (2023), kuesioner harus melalui proses uji coba terlebih dahulu untuk memastikan validitas dan reliabilitasnya. Uji coba (piloting) semacam ini memungkinkan peneliti mengidentifikasi pertanyaan yang membingungkan, memperkirakan durasi pengisian, dan mengoreksi potensi bias. Validitas menjamin bahwa kuesioner benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Sementara reliabilitas memastikan konsistensi hasil, bahkan jika pengisian dilakukan oleh peneliti yang berbeda.
Dalam praktiknya, kualitas wawancara ditentukan oleh kemampuan pewawancara untuk membaca situasi dan menggali informasi secara kritis. Teknik probing menjadi penting dalam konteks ini — saat satu jawaban belum cukup, pewawancara belajar menelisik lebih dalam, bukan untuk menginterogasi, tetapi untuk memahami.

Piloting hari kedua ini selesai sekitar pukul 11.00 WIB. Di akhir kegiatan, kehangatan tak hanya hadir dalam interaksi sosial, tetapi juga dalam bentuk jamuan makan siang yang disiapkan oleh para kader. Menu sederhana namun menggugah selera: sayur genjer dengan ikan tongkol, oseng-oseng turi, telur dadar, tahu goreng, dadar jagung, weci, dan aneka kerupuk menjadi penutup kegiatan yang sarat makna.
Bagi Tim Sosiologi UB, pengalaman dua hari ini bukan hanya soal menyempurnakan instrumen survei, tetapi juga pembelajaran tentang pentingnya menyentuh sisi manusiawi dari sebuah penelitian. Sebab ketika kuesioner dipahami sebagai medium dialog, maka data yang lahir pun bukan sekadar angka, melainkan cermin dari realitas sosial yang sesungguhnya. *** [110725]
Oleh: Budiarto Eko Kusumo | Editor: Budiarto Eko Kusumo