“Setiap jiwa adalah sebuah puisi.” —Michael Franti

Dalam sebuah “Workshop Kreasi Bersama: Membangun Strategi Lintas Sektoral Pengelolaan Sampah (Plastik) dan Peningkatan Kesehatan Masyarakat” yang diadakan Tim Peneliti NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC) Universitas Brawijaya (UB) yang berlangsung di Aston Inn Batu, pada Sabtu (08/02), suasana tidak hanya diwarnai dengan diskusi serius mengenai isu lingkungan dan kesehatan, tetapi juga keceriaan yang penuh makna.
Sebagai bagian dari tata tertib workshop, peserta yang terlambat masuk ke ruang meeting, akan mendapatkan “hukuman” yang unik – ada yang diminta menyanyi, sementara yang lainnya ada yang membacakan puisi.
Kepala Desa Krebet Senggrong Slamet Efendi, S.E. atau yang akrab disapa dengan panggilan Pak Yuli ini, yang hadir sebagai peserta workshop mengalami mendapat “sanksi” karena terlambat masuk ruang meeting. Ia tidak memilih menyanyi tetapi malah ingin membaca puisi.
Puisi yang ia bacakan itu dicomot dari laman Scribd yang diupload Rony pada 19 Juli 2018, berjudul “Sampah”:
Namaku dibenci
Rupaku tak sempurna
Akulah sampah yang tak
dipedulikan
Tapi … tahukah siapa aku?
Dan … seperti apa kekuatanku?
Jangan benci dan acuhkan aku
Karena … bila kau benci dan tak
Peduli
Aku sanggup mengantarmu pada
Kematian
Aku dahsat … karena aku sumber
bencana dan malapetaka
Puisi tersebut, meskipun berasal dari dunia maya, berhasil menggambarkan realitas suram mengenai tumpukan sampah yang mencemari lingkungan dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Dalam tiap kata yang dibacakan dengan penuh emosi, puisi tersebut terasa begitu dekat dengan kenyataan, seolah berbicara tentang kondisi persampahan kita, dan tantangan yang harus dihadapi bersama.
Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan skala masalah yang dihadapi Indonesia, di mana timbunan sampah mencapai 69,7 juta ton sepanjang tahun 2023. Angka ini tidak hanya menunjukkan besar volume sampah yang dihasilkan, tetapi juga menggambarkan kompleksitas tantangan dalam pengelolaan limbah di negara kita.
Lebih mengkhawatirkan, sekitar 33% dari total sampah ini tidak terkelola dengan baik secara nasional. Hal ini berarti sepertiga dari seluruh sampah yang dihasilkan berakhir di lokasi yang tidak semestinya, seperti sungai, laut, atau tempat pembuangan ilegal yang tidak dikelola dengan baik.
Kondisi ini tidak hanya menimbulkan masalah estetika dan kesehatan masyarakat, tetapi juga mengancam ekosistem serta keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya. Pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah yang buruk dapat berdampak jangka panjang terhadap sumber daya alam, pariwisata, bahkan ketahanan pangan negara.
Menurut William Wordsworth, puisi dapat digambarkan sebagai ekspresi emosi yang intens secara alami dan tanpa paksaan, yang didasarkan pada sentimen dan ketenangan yang mendalam. Menurut Robert Frost, puisi mencakup interaksi antara emosi dan kognisi. Ia lebih lanjut menegaskan bahwa puisi dapat membangkitkan rasa ketegangan emosional, kerinduan, atau motivasi yang diidealkan (Wajed & Saghar, 2023).
Puisi pada umumnya mengandung metafora, ringkas, memiliki meter, ritme, dan rima, dan tidak memiliki tujuan ekstra-sastra. Semua fitur ini tampaknya membantu puisi membangkitkan emosi (Johnson-Laird & Oatley, 2022).
Puisi dianggap penting karena membantu kita memahami dan menghargai dunia di sekitar kita. Kekuatan puisi terletak pada kemampuannya untuk memberikan pandangan “menyamping” tentang dunia, sehingga kebenaran dapat menghampiri Anda. Tidak perlu diragukan lagi. Puisi mengajarkan kita cara hidup. Puisi “Sampah” yang dibacakan Kades Krebet Senggrong – puisi menyingkap kelemahan manusia sehingga kita semua dapat berhubungan satu sama lain dengan lebih baik.
Workshop yang dihadiri oleh akademisi, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, komunitas dari 6 desa (Sumberejo, Pagak, Tlogorejo, Bakalan, Krebet Senggrong, Krebet), aktivis lingkungan, Pj Kesling Puskesmas Pagak dan Bululawang, UPT Pelayanan Persampahan di Kecamatan Pagak dan Bululawang ini mengajak kita untuk lebih peka dan terlibat langsung dalam solusi yang ditawarkan. Dengan pembacaan puisi ini, pesan yang disampaikan menjadi lebih mendalam dan menyentuh, mengingatkan kita bahwa setiap sampah yang dibuang sembarangan maupun yang tidak dikelola dengan baik memiliki dampak besar terhadap kesejahteraan kita bersama. *** [110225]
Oleh: Budiarto Eko Kusumo | Editor: Budiarto Eko Kusumo